Harder Than You Know
Langit disini cerah. Awan-awannya saling merapatkan diri membentuk bantalan putih menemani birunya langit yang diteriki matahari.
Apa yang sedang aku lakukan? Aku hanya duduk ditempat ini sendirian. Harusnya tidak seperti ini. Biasanya kulakukan hal yang terlihat membosankan ini dengan kamu. Iya kamu. Kamu yang udah aku tinggalin sendirian. Tanpa aku kasih tahu, hanya ngasih peringatan kecil yang tidak sama sekali kamu sadari. Dan aku tahu.. tidak mungkin juga kamu menyadari akan apa yang aku lakukan sama kamu. Karena kamu bukan paranormal, yakan?
Waktu berlalu memang sangat cepat. Aku tandai tiap angka dalam kalender yang membisu diatas meja sebelah tempat tidurku. Hingga tanda itu sudah memenuhi setiap angkanya. Setiap angka yang tersusun dari 1 hingga 30 atau 31. Setiap angka sama yang berulang, dengan diatasnya bertuliskan nama bulan.
Tanpa ku merasa, kenyataannya sangatlah terasa. Kalender musim semi ditahun ini akan kembali segera berlalu. Aku sudah 4tahun lebih 8bulan pergi jauh dari kamu. Menghilang begitu saja seperti sinetron striping yang ratingnya meredup tak kunjung naik. Lenyap seketika seperti hilang dalam badai tsunaomi. Tanpa kabar. Tanpa sepucuk surat. Tanpa alasan. Tanpa ucap-kata dalam kalimat. Aku meninggalkan kamu.
Awalnya.. aku meyakini kalau apa yang aku lakuin akan membuat perasaanku baik-baik saja. Pergi dari kamu tanpa harus memberi tahu. Jadi aku gak perlu lihat kesedihan kamu. Dan aku juga gak perlu susah payah menahan sedihku buat kamu.
Tapi kenyataannya?
Hari demi hari saat kusadari disetiap bangunku, aku tidak lagi menyambut silauan mentari dengan semangat. Karena semangatku adalah akan bertemunya aku sama kamu ditempat itu. Setiap pagi, siang, hingga malam. Dan kini... hanya hembusan nafas sesal dan cerita tak berujung yang aku isikan dalam hariku. Yang aku tunjukan pada diriku sebagai hukuman atas apa yang sudah aku lakukan, yang katanya menganggap kamu sahabat ,tapi kini aku tidak lagi bisa menyapamu.
Dan aku pikir, aku berhasil Shania. Berhasil meninggalkan kamu tanpa ucapan menyakitkan dalam tangis yang bisa dibarengi senyum gak jelas. Berhasil melupakan kamu dan semua kegilaan kita untuk kuganti dengan kegilaan lain bersama yang lain juga. Tapi ternyata... aku Gagal! Iya. Aku gagal untuk melupakan kamu, dan tidak lagi memikirkanmu, bahkan menganggapmu tak lagi ada sebagai sahabatku.
Karena kenyataannya.. meninggalkanmu diam-diam. Membiarkanmu terdiam sendiri disana. Memaksa diriku sendiri untuk tidak lagi memikirkan kamu dan segala kegilaan kita dalam persahabatan ini. Itu sulit! Lebih sulit dari yang aku bayangkan, yang kamu tahu!!
Kuturankan sejenak tablet yang sudah penuh cerita sesal ini. Aku melihat langit itu.. seketika bikin aku ingat sama kamu Shania. Kita dulu duduk berdua kayak gini ditaman pribadi yang kita temukan. Tidak ada yang tahu kecuali kita! Kamu pasti sudah duduk manis dibangku taman, sementara aku masih berlari untuk menghampiri kamu. Saat aku sampai.. kamu pasti manyun, pura-pura marah, pasang kedua tangan didepan dada. Persis kayak guru kalo mergoki muridnya yang terlambat.
Hanya senyum getir yang kulukiskan dibibirku saat ini. Saat bayanganmu berjalan pelan seperti awan dilangit sana, dalam benakku.
Kembali melihat tablet yang sudah jadi teman kedua dipulau ini (sebenarnya, tablet ini tadinya teman pertama dan mungkin akan jadi satu-satunya teman yang aku punya di sini. Tapi ternyata aku salah) aku membuka lagi catatan yang selalu aku buat untuk kamu. Untuk kamu yang tidak pernah membacanya.
-Hai Shan..., Haiiiii Shaniaaa :) ..., Shania, hai?..., Halloo, Shanjuuu ^^…, Hei, Shan!...,-
Hmm.., Kamu tahu gak itu tulisan apaan, Shania? Itutuh prolog! Prolog yang biasanya selalu aku ucapkan pelan kalau aku lagi pegang hp terus pengen nelpon kamu. Atau kalau aku mau ngetik pesan, untuk sekedar basa-basi, sapa-salam, say hai-helo. Sekedar ingin tahu apa kamu akan membalas say hai ku itu. Baik yang aku lisankan ataupun yang aku tuliskan. Dari sini. Dari tempat ini.
Tapi,... Arghhh! Kenapa? Kenapa rasanya jadi sulit untuk bicara 'hai' menuliskan 'halo' apalagi diikuti dengan menyebutkan nama kamu. Sumpah! Sulitnya berasa banget!!
Waktu itu, disana kamu mungkin bertanya..
Kamu dimana, Beby?
Terus disini aku jawab.
Aku disini, Shania. Disebuah pulau terpencil.
Kamu ngapain disana?
Terus aku jawab lagi.
Ngekorin Papa sama Mama.
Kenapa kamu gak pamit dulu sama aku, kalau kamu mau pergi?
Aku mungkin akan jawab kayak gini.
Pamit itu.. ngucapin selamat tinggal kan? Dan bukankah kalau orang bilang selamat itu untuk sesuatu yang menyenangkan? Apakah kepergianku ini menyenangkan? Pasti kamu akan menggeleng. Karena aku juga pastinya melakukan hal yang sama. Mana ada orang yang akan pergi meninggalkan merasa senang (?)
Haaah. Untukku memang terasa lebih baik seperti ini, Shan. Aku pergi gitu aja dari kamu tanpa harus bilang selamat tinggal. Karena kamu tahu apa? Bayangin kalau aku ngucapin selamat tinggal didepan kamu aja rasanya sudah menyakitkan. Aku berdiri dihadapan kamu. Didepan wajah kamu yang selalu tersenyum lebar penuh semangat dan keceriaan. Terus aku datang dan bilang...
'Selamat tinggal Shania. Aku harus pergi besok pagi sama Papa Mama aku. Pergi ketempat yang jauh, tak lagi satu pulau sama kamu!'
Tuhan!! Bayangan itu benar-benar terasa menyakitkan. Apalagi seiring bayangan kelam legam itu wajah kamu muncul, tergambar begitu jelas. Senyum kamu pasti pudar. Air mata kamu pasti mengambil alih keceriaan kamu. Dan itu.. tidak mungkin bisa aku lakukan. Demi apapun!
Jadi yaaa.. aku tepiskan saja ucapan itu. Terus kamu tahu gak apa yang aku pikirkan? Aku menggila saat itu. Aku biarkan saja rencana kepergiaan ini sampai dititik akhir tanpa harus memberitahu kamu. Dan aku ternyata berhasil! Aku pergi menghilang seperti debu yang ditiup angin. Seperti deretan awan yang bergerak meninggalkan langit sendirian. Seperti malam yang menggantikan tugas siang. Seperti kepergianku tidak akan terjadi tapi akhirnya terjadi juga. Aku pergi dengan sebelumnya kutitipkan senyum hingga tawa renyahku dalam bayangan malam, saat ku ajak dirimu bermain ditempat itu. Agar yang kamu kenang dari aku adalah.. aku yang menyebalkan, yang sudah seenak lebarnya jidatku, pergi meninggalkan kamu disana sendirian dengan bayangan wajah tengilku yang berhias senyum. Keren kan (?)
Catatan ini.. bikin aku kembali tersenyum seenaknya. Aku gak memikirkan gimana wajahku kala aku tersenyum sehabis membaca tulisan itu.
Aku ingat malam itu.. malam terakhir yang takkan mungkin aku lupakan. Malam dimana puncak keresah-gelisahanku aku lampiaskan dengan mengajak kamu ke stasion kereta api. Disana aku pasti sangat menyebalkan ya, Shan? Berpura tidak ada apa-apa. Padahal esok hari akan ada apa-apa. Dan malam itu juga, malam terakhir dimana aku bisa melihat kamu. Meski hanya punggung kamu. Meski dari kejauhan. Melihat kamu masuk kedalam rumah dalam keadaan baik-baik saja. Padahal aku tahu pasti, setelah malam itu.. keadaan kamu mungkin tidak akan baik-baik saja. Dan itu karena aku!
Gimana perasaan kamu saat aku lenyap gitu aja?
Sakit gak, Shan?
Bodohnya pertanyaanku. Kalau saja kamu dengar, gak kamu sentil jidatku aja udah untung.
Kamu apa kabar disana, Shania?
Aku kangen sama kamu! Kamu kangen gak sama aku?
Ini lagi. Kadar bodohnya hampir sama dengan pertanyaanku sebelumnya!
Kayaknya aku emang gak pintar yaa kalo urusan kata-berkata biar jadi kalimat yang apik gitu. Hmm.. lagian, mana mungkin kamu kangen sama aku. Yang ada.. mungkin kamu lagi caci-maki aku karena kepergianku yang mendadak. Iya kan? Dan disini, Aku hanya bisa menghela nafas jika mengingat itu. Rasanya kok sakit banget. Padahal cuma ngebayangin. Entah benar apa tidaknya kalau kamu udah benci sama aku. Haaa.., hanya Tuhan yang tahu pasti apa perasaan kamu buat aku sekarang.
Jemariku kembali membuat rangkaian kata jadi kalimat yang tidak pernah dikonsumsi siapapun. Padahal kalimat ini jelas untuk seseorang. Karena dialah, karena akulah. Kini aku jadi senang membuat catatan dalam lamunan rasa sakit sedikit seperti ini.
"Hmm...kita sering bgt punya pendapat yg sama yaa Tapi bedanya kita, kamu lebih bisa mengungkapkan apa yg kamu pikirin.. Haha itu salah satu yg aku kagum dari kamuu :)) kalo diibaratin masak..aku itu gasnya kamu itu kompornya :))"
Masih ingat gak, Shan. Sama apa yang aku tulis itu? Ucapan di kartu birthday buat kamu itu? Pas kamu ulang tahun dulu? :')
Kata orang..
Saat ada pertemuan, pasti akan ada saat perpisahan juga.
Mungkin gak sih? Dari perpisahan kita sekarang, kita akan ada pertemuan lagi? Dunia ini berputar kan? Meski sekarang, saat ini, belakang dalam hariku ini putarannya terasa berat. Perasaanku udah kayak popcorn yang meletup-letup gak jelas.
Kamu tahu gak, Shan. Apa aja yang sudah aku lakukan selama 4tahun 8bulan ini. Disini. Dipulau ini. Ditempat.. ini tempat, apa ada dipeta enggaknya aja aku gak tahu. Aku tidak sama sekali melakukan apapun yang bisa membuat perasaanku lega, terus senyum senang bahkan bisa ketawa-ketiwi. Kayak waktu aku masih sama kamu disana. Hanya karena kejayusan saja kita bisa tertawa puas begitu lepas.
Sementara ditempat ini, ditempat ku sekarang, yang aku lakukan hanya diam duduk melamun, memangku tablet yang udah kayak buku pelajaran. Namun isinya bukan tentang bahasa indonesia, matematika, kimia, biologi, atau apalah yang membahas pelajaran. Isinya hanya cerita tanpa judul, catatan hasil melamun. Yang ada nama kamunya sebagai tokoh utama dalam cerita itu, dalam catatan ini.
Keren gak, Shan cerita sama catatan aku? Mana mau kamu perduli keren nggaknya cerita gajelas ku itu. Karena pastinya lebih gak jelasan aku kan ketimbang cerita atau catatannya?!
Ehiya.. kira-kira, kamu masih ingat gak ya sama lagu terakhir yang sering aku putar, yang sebenarnya adalah kode buat kamu. Kode tentang kepergianku? Kayaknya nggak deh. Karena mungkin, disana kamu udah buang-buangin segala apa yang pernah berhubungan sama aku.
4tahun 8bulan itu kan bukan waktu yang sebentar. 4bulan aja lamanya kayak gimana. Nahini 4tahun! Aku gak pernah ngasih kabar. Gak pernah.. gak pernah apapun lagi lah. Mungkin saja disana kamu sudah dapat sahabat lain. Jadi wajarlah kalau kamu ngebuang semua benda berwujud, ataupun deretan memory aku sama kamu. Dan ini.. sekarang inilah lagu yang sering aku dengerin. Aku sih pengen banget ngasih lagu ini sama kamu, biar kamu tahu gimana rasanya jadi aku yang harus pergi gitu aja.
You said this could only get better.
There's no rush cause we have each other.
You said this would last forever.
But now I doubt if I was your only lover.
Are we just lost in time?
I wonder if your love's the same
Cause I'm not over you
Baby, don't talk to me.. I'm trying to let go
Not loving you is harder than you know
Cause girl you're driving me so crazy
Aku gak bisa bilang ini akan baik-baik saja. Karena jelas aku mengacaukan kamu. Dan aku juga gak bisa bilang kalau persahabatan kita akan abadi. Karena jelas juga.. aku tahu aku takkan lama bisa bercengkrama sama kamu. Ditengah tuntutan dunia pada Papa sama Mama yang harus membuat keluargaku hidup. Mencari sesuap nasi. Memakai sehelai pakaian. Meneduhkan badan kami dibawah atap usang.
Pertemuan kita memang singkat. Tapi rasanya aku udah kenal sama kamu lamaaaa banget. Sampai aku nemuin tempat nyaman dari pelarianku selama ini dalam diri kamu. Terserah sih kamu mau percaya apa enggaknya. Kamu juga boleh kok lupain aku. Gak usah mikirin aku lagi kalau itu akan bikin kamu sakit. Karena akuuu.. udah gak ada lagi didekat kamu.
Buatku... Sulit jika aku bilang. Aku akan melupakan kamu seperti sebelum-sebelumnya aku melupakan apa yang pernah aku jumpai dalam perjalanan orangtuaku. Melupakan kamu sama saja dengan menambahkan sayatan. Rasanya perih dan meninggalkan bekas yang akan terus mengingatkan.. mengingatkan.. dan terus mengingatkan aku sama kamu. Karena aku yang salah. Karena untuk meninggalkanmu dan di tutup dengan melupakanmu ternyata tak mudah. Tak semudah saat aku merencanakan pergiku tanpa pamit.
How can I miss you if you never would stay?
If you need time I guess I'll go away (I'll go away)
Inside me now there's only heartache and pain
So where's the fire? You've become the rain
Kamu dengerin dehh pas bait itu.. ngena banget Shan. Gimana kamu mau kangen sama aku, orang akunya pergi gitu aja. Aku minta maaf kalau aku udah bikin api dalam diri kamu jadi air. Apa yang kamu rasakan disana aku juga merasakannya kok. Aku sakit. Sakitnya kehilangan orang yang dicintai kayak pacar bisa saja sembuh oleh waktu. Tapi sakitnya kehilangan orang yang disayangi kayak sahabat. Bisa gak ya sembuh juga oleh waktu? Karena yang aku rasakan sakit itu belum juga hilang. Aku masih merindukan kamu. Seriusan!
And if you don't want me then
I guess I'll have to go (I guess I'll have to go)
Not loving you is harder than you know
So I'll make the call, And I'll leave today
I'm gonna miss you cause I love you baby
And I'll make the call, And I'll leave today,
And leaving always drives me crazy..
Leaving always drives me crazy.
Dan kalau kamu sudah melupakanku. Kalau kamu tidak mau lagi ketemu sama aku. Aku terima itu. Toh aku memang sudah pergi dari kamu. Tapi kamu harus tahu, entah bagaimana caranya. Pergi ninggalin kamu itu... membuatku gila.
Aku memang berhasil meninggalkanmu saat itu. Tapi aku tidak berhasil mengatasi kegilaan yang muncul setelah aku jauh dari kamu. Karena ternyata... tidak menyayangimu dan coba melupakanmu, lebih sulit dari yang kamu tahu!
Kuhela nafas begitu dalam. Lalu kusandarkan kepalaku dibangku berwarna biru ini. Kupangku lagi tabletnya dengan kali ini aku nyanyi-nyanyi sendirian gak jelas setelah tulisan ditabletku selesai. Gak selesai sih sebenarnya. Tapi aku gak tahu harus nulis apa lagi. Ini terlalu gila sama seperti lagunya... gila!
Papa sama Mama juga. Gak tahu kenapa kayaknya malah betah dipulau ini. Biasanya urusan pekerjaannya Papa tidak lebih dari 2tahun. Nahh ini? Udah 4tahun! Bisa bayangkan gimana gundah gelisahnya aku waktu itu? Yang berharap tujuan selanjutnya transit Papa buat kerja itu kota kamu lagi. Kota tempat kamu tinggal dan aku tinggalkan.. Shania, jadi kita bisa sama-sama lagi.
Tapi ternyata, saat di tahun kedua yang sudah habis dan mulai menapaki tahun ketiga. Papa sama Mama tidak lagi membicarakan soal kota atau pulau mana yang akan kita datangi. Hingga masuk di tahun keempat dan lebih dari itu, kurang dari empat bulan lagi aku disini resmi tinggal selama lima tahun. Mungkin perjalanan Papa dalam pekerjaannya harus selesai dipulau ini. Tidak ada lagi perpindahan. Tidak ada lagi perjalanan. Karena yang ada sekarang adalah... rumah mewah begitu megah dari perusahaannya Papa dengan segala fasilitasnya.
Astaga! Untung saja kedua bola mataku tidak loncat dari tempatnya. Saat aku sadar dari lamunan tingkat tinggiku. Sudah ada seseorang yang kini tengah duduk manis disebelahku. Yaa memang sih.. yang membuatku kaget terlihat tenang, indah, wajahnya lembut, putih keliatan calm banget gitulah. Tapi kan tetap aja. Pas lagi ngelamun terus tiba-tiba melihat yang sebelumnya tidak ada, itu pasti kaget!
"Beby! Ngelamun lagi ya?"
Suaranya.. duhh... dia ngomong apa aja aku gak ngerti sangking fokusnya kedua mataku kewajahnya.
"Heii.. Beby!?"
Tepukan kecil dipundakku. Berhasil dan selalu berhasil dia jadikan senjata untuk membangunkanku dari bengong melongo kayak orang dongdong.
Aku nyengir saja untuk membalas kata-kata yang entah udah jadi berapa kalimat yang tadi dia ucapkan. Sekaligus penanda kalau aku sudah tak lagi didunia lain. Melainkan sudah ada disebelahnya dalam pose wajahku sama wajahnya saling berhadapan.
Sebenarnya aku jadi cengo, bengong, melongo, kayak orang dong-dong itu bukan hanya karena kaget akan kehadirannya saja. Tapi juga kaget karena wajahnya.... wajahnya mirip Shania. Beneran deh. Mirip! Dan ini bukan untuk yang pertama kalinya aku mikir dalam bengongku saat melihat wajahnya dia yang ada disebelahku. Kalau dia begitu mirip sama Shania. Tapi yang ini versinya lebih lembut, lebih child-able gitu. Gak kayak Shania. Pecicilan terus tante-able. Maafin aku Shania!
Terus, sampai sempat mikir.. Apa mungkin Shania punya Kakak yang tinggal dipulau ini? Ya kayak tante yang tertukar gitu *eh. Putri yang tertukar maksudnya. Tapi, Kalau aku suarakan pertanyaanku yang barusan, aku pasti udah ditoyor di kepala atasku sama dia. Dia yang aku panggil Kak Veri (read as peri) Karena dia udah tahu gimana aku dan juga tatapanku yang bilang kalau dia mirip Shania.
"Masih ngelamun aja! Beby, ihhh!!"
Suaranya agak ada sentakan. Bisa aku dengar karena aku memang sudah tidak ada di dunia lain.
"Maaf Kak. Habisnya Kak Veri sihh.. dateng gak diundang, pulang gak bilang-bilang. Udah kayak jelangkung aja." Candaku terdengar garing.
"Kak Veri.. Kak Veri... nama aku itu Ve.. Ver,-"
"Veri.., Kak Veri-nya Beby!" Potongku saat Kak Veri bicara ingin memberitahukan nama sebenarnya.
"Kamu tuh!"
Kak Veri membalas potonganku dengan bonus sebuah toyoran lembut dikepalaku. Persis seperti apa yang tadi aku bilang. Ckckck.. contoh yang gak baik tuh. Etapi dia baik kok. Emang akunya aja yang ngeyel. Suka seenaknya ngerubah namanya. Nama dia.. nama Kakak Veri aku ini Veranda (Jangan baca Peranda yaa.. baca normal aja Veranda. Nanti aku ditoyor lagi sama dia!) Jessica Veranda lengkapnya. Dia udah nemenin aku disini selama.. 3tahun terakhir. Karena yang setahunnya aku gak tahu Kak Veri. Maaf! Maksudku Kak Vera ada dibagian mana pulau ini.
"Hehe.. bercanda Kak. Serius!" Balasku dengan cengiran polos. Dan Kak Ve (panggilan akrabnya banget nihh. Tapi tetep lebih akrab Kak Veri sih. Apalagi kalo sisi manjaku kebeneran lagi keluar.) Jadi ikutan melebarkan senyumnya.
"Kamu ngapain disini? Hmm.. pasti lagi nulis-nulis gak jelas lagi yakan?" Tanyanya dengan kedua mata menyipit tajam padaku saat tebakannya Kak Ve ucapkan.
"Kak Veri sendiri ngapain disini? Nguntitin aku ya? Mau lihat isi tablet aku, yakan?" Dan aku menjawab seenaknya, dengan kedua mataku aku tirukan seperti yang sedang Ka Ve perlihatkan. Tapi itu cuma bercanda.
"Gaklah. Udah bosan Kak Ve nguntitin kamu sama isi tablet kamu yang paling isinya juga gak akan jauh dari Shania.. Shania.. Shania Junianatha. Bener kan?"
"...Tahu dehh yang udah kayak peramal mah."
Suara dari jawabanku menurun karena mendengar dengan sangat jelas dan berulang Kak Ve menyebut nama Shania.
"Yaa.. mukanya kok jadi sedih gitu sih? Kak Ve minta maaf deh. Kakak kan gak ada maksud apa-apa!" Wajah Kak Ve memperlihatkan kecemasannya, dan ada sedikit tersirat rasa tidak enak setelah apa yang dirinya ucapkan untukku.
Karena Kak Ve tuu tahu banget. Sangat tahu soal aku juga Shania. Makanya dia aku panggil Kak Veri. Karena saat aku sedih dia ada didekat aku terus ngasih pukpuk cuma-cuma gitu. Dia udah kayak Kakak buatku, yaaa meskipun entah Kak Ve merasakan hal yang sama kalau aku udah kayak adik buat dia, apa enggaknya. Gak perdulilah.
"Udahlah Kak. Kakak gak perlu minta maaf. Aku gak apa-apa kok!" Jawabku lusuh namun itu jujur.
Karena yang tadi aku perlihatkan itukan hal biasa. Saat kita diam memikirkan seseorang, terus tetiba datang orang lain dan membicarakan atau sedikitnya menyambit nama yang sedang kita pikirkan dalam kesedihan.. pastinya akan ikut sedih kan?
"Tapi wajah kamu terlihat lagi kenapa-kenapa!" Kak Ve masih saja hawatir.
"Aduhh Ka. Beneran deh. Beby gakpapa kok!" Kuangkat dua jari sebagai simbol kesungguhan kalau aku tidak apa-apa dan kenapa-kenapa.
"..Kamu tuh gak bisa diam gini terus Beby. Kamu harus temuin Shania atau sekedar say hai lewat telpon. Jaman kan udah canggih, yaa meskipun kita memang tinggal di pulau kecil ini!"
Tiba-tiba saja Kak Ve terdengar frontal bicara kayak gitu. Padahal biasanya dia selalu berusaha ngalihin perhatian. Coba geser kesedihan aku dengan hal yang lain. Kalau tidak sengaja ada adegan kayak barusan.
"Kak, Beby mohon. Jangan bicara gitu lah. Beby lagi berusaha buat lupain Shania Kak."
"Jangan egois gitu dong Beby. Kamu gak boleh nyakitin hati kamu sendiri. Terpisah jarak kan gak akan bikin kalian benar-benar terpisah. Kalau saja kamu mau buka diri bukan malah ngumpet!"
Kak Ve benar. Harusnya waktu itu aku buka diri ke Shania. Bukan malah ngumpet dan berpura semua akan baik-baik saja. Tapi... kayaknya semua udah terlambat. Udah 4th juga!
"Hmm.. yaudah. Emm.. kita bahas yang lain aja, ya?"
Kak Ve dengan suara lembut dan wajahnya yang seperti Ibu Veri. Bikin aku sedikitnya merasa agak tenang dan gak sedih lagi dalam bayangannya Shania yang tidak tahu harus aku apakan.
"Mau ngebahas apa, Kak?"
"Kalau Kak Ve gak salah tebak. Kamu lagi Ujian akhir kan?"
Aku mengangguk saja untuk menjawab pertanyaannya Kak Ve. Karena penasaran dengan lanjutan kalimatnya juga.
"Terus.. ujiannya beres di sabtu besok kan?"
Kembali aku mengangguk agar Kak Ve cepat menyelesaikan ucapannya.
"Kok cuma ngangguk aja sih, Beby!"
Kali ini aku kerungkan wajahku dan.. "Terus, aku harus gimana, Kak? Kan Kakak tanya. Ya aku jawab. Cuman jawabnya pake anggukan doang. Gak salah kan?" Jawabku sekenanya.
"Yaa.. kamu tanya apaa kek gitu. Emang kamu gak merasa aneh, karena Kak Ve tiba-tiba tanya-tanya soal ujian?"
"Enggak!" Cepatnya aku menjawab.
Karena memang tidak ada yang aneh dari apa yang Kak Ve tanyakan. Paling ujung bahasan atau pertanyaan selanjutnya.. liburan kemana? Gak nyamperin Shania?. Haaahhh gak mau dehh denger itu.. lagi. Dari Kak Ve.
"Pck. Beby.. Beby... kamu itu terlalu terbiasa dengan yang udah biasa ya? Pantas saja kamu gak bisa-bisa nemuin Shania atau sekedar buat komunikasi!"
"Maksud Kakak?" Ini pertanyaan serius, soalnya aku bingung.
"Ya karena kamu gak nanya-nanya apapun dibalik pertanyaan Kakak, dan karena kamu pasti mikirnya 'palingan juga kak Ve nanya soal liburan kemana atau kenapa gak nemuin Shania?!' Iya kan?"
Aku tersentak kaget. Refleks saja kedua mataku melebar ketika mendengar bicaranya Kak Ve yang memang persis seperti apa yang tengah aku pikirkan.
"Tuhh.. wajahnya aja udah gitu. Pasti bener apa yang Kak Ve tebak?"
Hanya cengiran lebar yang aku perlihatkan pada Kak Ve.
"Yaudah biar Kak Ve aja yang membuka. Kamu kan emang gak pernah mau buka-bukaan!"
Dihh Kak Ve omongannya. Nyindir banget. Kayak sendirinya suka buka-bukaan, blak-blakkan. Sama pendiem juga.
"Jadi gini.. pas sabtu besok kamu beres ujian. Itu berarti kamu dapet jatah libur kan dari sekolah." Aku kembali mendengarkan,
"Nahh.. kebetulan. Dari tempat Kakak kerja. Kakak ditugasin buat ke Jakarta!"
Daar! Serasa ada letusan balon yang bikin telinga gak bisa dengar. Aku mengeluarkan kata 'Hah' dengan wajahku yang sepertinya tidak terkontrol.
"Bukan Hah! Tapi Jakarta!! Kak Ve dapat tugas dari kantor buat ngasih report ke kantor pusat di Jakarta. Waktunya lumayan lama lohh.. soalnya gak cuma ngasih report aja......."
bla bla bla.. entahlah apalagi yang keluar dari mulutnya Kak Ve. Karena yang aku tangkap hanya satu kata... Jakarta! Yang artinya itu adalah Shania! Yaaa.. Jakarta itu sama dengan Shania. Karena disanalah dia tinggal dan aku tinggalkan saat itu.
"Jadi gitu. Gimana? Kamu mau nggak?"
Tiba-tiba saja pertanyaan dari Kak Ve ini masuk dalam gendang telingaku. "Apanya yang.. gitu? Mau apa?" Polosnya pertanyaanku pada Kak Ve yang udah ngebusa sedari tadi.
"Ihhh.. Beby! Kamu gak dengerin apa yang Kak Ve bilang?"
Aku menggeleng saja. Karena memang tidak ngeh dengan apa yang tadi Kak Ve siarkan.
"HM! Gini yaa.. Beby Chaesara Anadila. Karena Kak Ve dapat kerjaan ke Jakarta. Kak Ve mau ngajak kamu untuk sekalian ngabisin waktu libur kamu disana. Dan yaa.. itu juga bisa kamu jadikan kesempatan kedua buat ketemu sama Shania, terus bicara apadeh terserah! Biar kamu gak jadi pelamun sejati lagi!!"
Mendengar pernyataannya Kak Ve kayak suara asli apa suara rekaman. Jakarta. Aku diajak Kak Ve ke Jakarta. Dan aku.. akan ketemu lagi sama Shania, yang udah 4 tahun aku tinggalkan tanpa pamit atau apapun itu. Ini asli?
"Beby... malah cengo gitu! Gimana? Mau nggak? Kalau mau sabtu malam kita berangkat. Jadi sampai di Jakartanya minggu sianganlah kurang lebih."
"Iya.. iya.. aku.. aku.. aku mau Kak. Tapi,-"
"Deal! Kamu udah mau. Soal ijin sama Papa Mama kamu. Biar Kak Ve yang urusin. Oke?"
Gila! Sebegitu niatnya Kak Ve mau biar aku bisa ketemu lagi sama Shania. Dan aku? Gak bisa nerusin lagi kalimat setelah tapi. Entahlah. Apa yang mau aku ucapkan setelah tapi itu saja gak tahu apaan. Kayak tiba-tiba hilang kata-kata gitu.
"Bentar Kak. Beby boleh tanya gak?"
Kak Ve yang semula akan beranjak dari duduknya dan sepertinya akan pergi. Tetap jadi beranjak kok. Cuman gak jalan untuk pergi. Hanya berdiri saja.
"Tanya apa?" Jawabnya sudah dalam posisi membelakangi aku.
"Kakak kok sampai segitunya mau agar Beby ketemu lagi sama Shania?" Aku ikut berdiri terus nyamperin Kak Ve.
"Karena kamu tahu jawabannya. Kamu tahu gimana kamu. Dan kamu juga tahu gimana Kak Ve!"
Jawaban Kak Ve emang gamang. Tapi aku tahu maksud dari jawabannya itu.
"Dengar Beby! Kamu tahu kan cerita Kakak sama sahabat Kakak?"
Aku mengangguk dalam pandangan kedua matanya Kak Ve yang sedang memandangku.
"Buat maafin dia yang udah ninggalin Kak Ve gitu aja. Itu rasanya sulit banget. Kak Ve Coba menenangkan diri dengan ngasih sugesti kalau dia pergi tanpa pamit, tanpa alasan, itu adalah untuk sesuatu yang memang penting dan nantinya juga kita akan ketemu lagi. Tapi ternyata tidak. Dia menghilang begitu saja sampai Kakak hampir lupa kalau Kakak punya sahabat semenyenangkan dia"
Aku serasa ditarik untuk mengingat kembali ceritanya Kak Ve dengan sahabat karibnya yang sempat pergi ninggalin Kak Ve persis kayak aku yang ninggalin Shania. Tapi bedanya, kini Kak Ve sama sahabatnya itu udah baikan lagi dan mereka juga sudah saling komunikasi lagi meski tak satu pulau.
"Rasanya ada diposisi yang ditinggalkan tanpa ada ucapan apapun sebelumnya itu.. lebih berat ketimbang dia yang udah meninggalkan. Sejuta prasangka dalam tanya jadi kabut penutup hidup Kakak. Karena yang Kak Ve takutkan adalah.. dia pergi pasti ada sesuatu yang salah sudah Kak Ve perbuat, dan pertanyaan gila lainnya untuk dia!"
Mendengar suaranya Kak Ve benar-benar berasa dibangunkan dari tidur panjang dengan sebuah tamparan. Kak Ve itu korban. Dia yang ditinggalkan. Dan bukan tidak mungkin apa yang Kak Ve ucapkan tentang perasaannya, itu juga yang dirasakan Shania. Bodohnya aku! Udah dengan seenak gampangnya ninggalin Shania tanpa pamit dan malah aku yang coba lupain dia!
"Kamu bisa bayangkan gimana enaknya hidup kamu dalam sejuta tanya tanpa jawab seperti itu? Kak Ve gak mau.. rasa sayang kamu sama Shania malah jadi salah kamu persepsikan. Kayak yang waktu itu sahabatnya Kakak perlihatkan. Kejujuran sepahit apapun itu.. akan terasa manis akhirnya. Tapi kebohongan semanis apapun itu.. akan terasa pahit sampai.. entah sampai kapan. Karena luka akibat kebohongan itu tidak bisa sembuh oleh hitungan waktu dalam sekejap mata, Beby!"
Kak Ve menggenggamkan kedua tangannya diatas bahuku. Terus, wajahku dengan wajahnya Kak Ve hanya berjarak beberapa cm begitu dekat.
"Masih ada kesempatan buat kamu memperbaiki ini. Sekaranglah waktu dikesempatan kamu itu. Jangan kamu merasa gak enak, udah dilupain apalah sama Shania. Karena Kak Ve yakin. Disana.. dia pasti masih menantikan kamu dan berharap bisa bertemu, atau sekedar berbincang lagi sama kamu. Perbaikilah!"
Senyuman khasnya Kak Ve jadi penutup ucapannya yang panjang namun ngena banget. Apa yang Kak Ve bicarakan sangat benar. Dan aku... gak mau sia-siakan kesempatan yang ada ini!
"Makasih ya Kak. Beby gak tahu bakal jadi gimana Beby kalau tidak dipertemukan dengan seseorang kayak Kak Ve di tempat ini. Makasihhh banget. Kak Veriii" aku memeluknya erat dengan.. kedua pipiku yang sudah basah karena tetesan air mata bahagia.
---
4hari lagi sisa ujian akhir ku akan selesai aku tempuh. Dan hari esoknya... hari yang sangat aku tunggu dalam rentan waktu yang terasa lama, karena yang sedang aku tunggu ini waktu menyenangkan yang kuharap bisa kembali menjadikan aku sahabatnya Shania. Si jangkung pemilik chocochip yang kayak tante itu *ups. Tapi biarpun gitu, dia selalu aku rindukan setiap hari dalam jalannya waktu hidupku. Beneran, serius!
Shaniaaaa... >_< aku mau nemuin kamu lagi loh! Kira-kira? Kamu bakal kayak gimana yaa saat nanti kamu lihat aku lagi?
Hmm.. semoga aku masih pantas untuk bisa lagi bertemu sama kamu. Karena tidak bisa dipungkiri, kesalahanku sangatlah besar. Kepergianku yang menyisakan sejuta tanya dan menyesakan setiap nafas kamu. Pastilah bukan hal yang mudah untuk dilupakan. Atau.. apa mungkin kamu sudah melupakan aku? Aku takut! Tapi aku gak mau kalah sama rasa takutku. Biarlah apapun yang nanti akan terjadi, yang akan kamu lakukan saat kita bisa lagi saling berhadapan. Akan aku lawan. Sekalipun mungkin kamu mengusir aku dan atau kamu marah-semarah-marahnya sama aku. Akan aku terima.
Dan aku juga akan tetap berusaha agar kamu mau nerima aku lagi sebagai sahabat kamu. Karena disini meski tanpa kamu tahu. Aku selalu menjadikan kamu sebagai sahabat nomor satu terbaik yang pernah aku miliki. Dulu, aku selalu baca postingan kamu di dinding facebook ku. Aku juga selalu baca mentionan kamu di twitterku. Sampai akhirnya kamu berhenti dengan sendirinya. Dan bahkan... aku selalu stalk setiap perubahan gambar di account instagram kamu. Semoga setiap wajah yang hadir disetiap hari kamu tidak lantas menenggelamkan wajahku dari deretan pajangan gambar dalam otak kamu, ya Shania. Meski aku tahu aku pantas-pantas saja ditenggelamkan dari deretan pajangan gambar dalam otak kanan kamu.
"Terima kasih sudah ........ "
Suara dari seorang pramugari melepas semua para penumpang yang telah memakai jasa maskapai penerbangan mereka, dengan pramugari lainnya mengangguk sopan membarengi ucapan si pramugari yang mungkin.. dia entahlah tingkatannya lebih atau apa dituakan kali.
Karena aku sendiri tidak mendengar semua apa yang perempuan-perempuan tinggi semampai pada cantik itu ucapkan. Soalnya yang ada dalam otakku saat ini adalah bayangan Shania.
'Shania.. aku udah di jakarta loh.'
Bisikku dalam hati.
Rasanya senang dag-dig campur-campur. Gimana yaaa.. ah enak-gak enak deh. Tapi enak terus asik lagi. Hahaa, gakjelas.
'Kamu masih tinggal disana, kan?'
Deretan gigi atas dan bawahku terlihat sepertinya, karena aku tersenyum begitu lebar saat itu. Bayangin gimana mukanya Shania pas aku nanti nemuin dia lagi, dan itu bikin... aaaaa bikin gak karuan sendiri. Hahaa. Gakjelaslagi.
"Seneng gitu wajahnya."
Suara Kak Ve mengudara membuat aku yang masih senyam-senyum sendiri refleks melihat kearahnya dengan senyum masih terpasang diwajahku tentunya.
"Kan mau ketemu Shania Kak. Harus senang dong!" Balasku diikuti senyum yang semakin lebar.
"Shania juga pasti senang bisa lihat kamu lagi!" Tangan kanannya, Kak Ve simpan dibahu kiriku dan menepukan lembut sekali.
Aku mengangguk dan berharap apa yang dikatakan Kak Ve dan apa yang aku inginkan kalau Shania akan senang bisa melihatku lagi menjadi kenyataan.
Jalan-jalan. Jalan terus hingga aku sama Kak Ve sampai di tempat yang dimana kita bisa melihat siapa yang menjemput kita, kalau memang ada. Dan sepertinya aku sama Kak Ve memang ada yang menjemput karena Kak Ve menghentikan sejenak langkahnya, mengelilingkan kedua bola matanya, seperti mencari seseorang.
Sampai beberapa detik lamanya, bisa kulihat ada seorang perempuan melambai kearah kita. Kak Ve nya sendiri belum melihat kalau ada seseorang melambai-lambai dari kejauhan sana. Potongan rambutnya sama kayak aku, pendek. Tingginya.. kayaknya gak jauh beda dari aku atau Kak Ve. Wajahnya si belum terlalu jelas.
'Apa dia yang mau jemput aku sama Kak Ve?'
"Veee?"
Tiba-tiba saja Suaranya melengking gak terlalu nyaring sih, meneriakan namanya Kak Ve. Sampai Kak Ve yang sedari tadi masih sibuk mencari, seketika memalingkan wajahnya dan melihat sosok perempuan yang memanggilnya.
"Kinallll..."
Set! Suara Kak Ve yang biasanya kalem tiba-tiba terdengar keras tapi tetap masih lembut. Berteriak membalas teriakan perempuan yang tadi memanggilnya. Terus kedua tangannya melambai-lambai cantik seolah memberikan tanda kalau dirinya sudah bisa melihat si perempuan yang tadi ia panggil Kinal.
Aku hanya bisa mematung dengan bisikan
'Ohh.. namanya Kinal. Eh tunggu! Kinal? Jadi itu sahabatnya Kak Ve?'
Kak Kinal (Sok akrab. Tapikan kalau sama yang lebih tua emang harus panggil Kak) berjalan agak cepat untuk sampai ditempat aku sama Kak Ve berdiri. Terus pas dia sampai... Kak Ve langsung memeluknya sambil bilang "Kinal.. aku kangen tahu!"
Aduhh.. Kak Ve bikin iri. Adegannya Kak Ve sama Kak Kinal bikin aku melamun sendiri
'Apa Shania juga akan seperti itu pas nanti ketemu sama aku?'
"Ohiya.. Beby kenalin ini Kak Kinal." Kak Ve sudah melepaskan pelukan kangen-kangenannya. Terus memperkenalkan aku deh sama sahabatnya itu "Kinal.. ini Beby." Kak Kinal melihat kearahku yang sedang tersenyum, kontan saja aku sedikit mengangguk padanya.
"Jadi ini anaknya. Yang suka manggil kamu Kak Veri itu, Ve?"
Aih. Pertanyaannya ke Kak Ve nyeret nama aku. Dan bikin kedua pipiku kayaknya memerah deh, soalnya terasa panas.
"Lucu ya. Gemesin!"
Heh. Kedua tangannya Kak Kinal celamitan gitu pegang-pegang pipi aku. Kan aku jadi tambah malu tak karuan.
"Makasih ya, udah bikin Ve jadi cerewet!"
Dan yang terakhir ini. Bikin aku seketika mengangkat kedua bola mataku. Maksud ucapannya apa coba?
"Kak Kinal bisa aja. Kak Ve kan emang cerewet, Kak." Aku balas saja. "Ya emang sihh gak pake banget cerewetnya. Dan.. palingan cuma di moment tertentu aja Kak Ve cerewet dan nyerewetin aku. Hehee"
"Kayak kamu gak gitu aja, Beb!" Tak diduga, Kak Ve membalasku dengan sedikit singgungan tangannya ketanganku.
"Ve jarang lohh, Beby. Kalau ketemu sama orang baru terus bisa langsung akrab dan bisa bercerewet senang. Kayaknya baru kali ini deh. Dan ternyata, selain aku ada juga yang bisa bikin Ve nyaman." Jelas Kak Kinal memaparkan.
"Berarti aku termasuk yang beruntung dong Kak?" Tanyaku.
Kak Kinal mengangguk dengan senyumnya yang memperlihatkan adanya gingsul di giginya.
"Tapi tetap Kak Kinal yang paling beruntung kok. Punya sahabat kayak Kak Ve yang baik, pengertian, perhatian. Pokoknya... sempurna!"
Giliran wajahnya Kak Ve yang merona merah malu. Karena aku sama Kak Kinal bicarain dia.
Kalau dilihat-lihat dan diperhatikan sebentar. Kak Kinal itu.. kayak kamu Shania. Cerewet. Terus bisa dengan bebas ngungkapin atau ngelakuin apa yang dia mau. Kelakuannya juga. Ahh pokoknya 11 12 lah sama kamu. Kayaknya aku sama Kak Ve yang introvert memang cocok dipertemukan sama Kamu juga Kak Kinal yang ekstrovert. Yaa kan bagus kita jadi saling melengkapi, bisa ngehidupin suasana. Hahaaa.. Tuhan itu memang maha sempurna. Dia bisa menciptakan berbagai karakter dan juga memasangkan tiap karakter beda itu dengan beda karakter lagi, tidak dengan karakter yang sama. Tujuannya pasti agar kita yang berbeda-beda ini bisa jadi satu.
Silauan mentari pagi kota Jakarta masuk membangunkanku dari tidur capek semalam. Kulirik jam di dinding kamar yang disediain Kak Kinal. Sangking capeknya kali ya sampai aku tidur udah kayak orang koma. Jam dinding udah bertengger di angka 11 aja, berarti silauan mentari ini udah bukan mentari pagi lagi, melainkan matahari siang.
Keluar dari kamar yang aku tempati sendiri. Soalnya Kak Ve tidurnya di kamar satunya sama Kak Kinal. Aku celingukan ditempat asing namun nyaman ini, mencoba mencari adakah Kak Kinal atau enggak Kak Ve di salah satu sudut yang ada diruangan ini. Tidak bisa melihat siapapun, aku bingung harus ngapain. Tapi saat balik badan dan mengarah lagi ke pintu kamar, ternyata ada catatan kecil menempel dimuka pintu kamar yang ku tempati ini.
'Kak Ve sama Kak Kinal berangkat kerja dulu ya Beby. Ada nasi goreng tuh di meja makan. Kata Kak Kinal kalau mau bikin susu atau apa lihat aja di kulkas atau lirik di dapur. Ohiya, kalau nanti mau keluar, hubungin Kak Ve ya? ^^ Selamat bersenang-senang ;)'
Aku tersenyum membaca isi memo yang ditulis rapi oleh Kak Ve, apalagi tulisannya Kak Ve selalu mengikut sertakan emot.
Beres dengan segelintir kegiatan membersihkan diri yang diteruskan sarapan telat. Aku bersiap pergi kesana. Ketempat Shania tinggal.
Sebenarnya, semalam aku juga udah mau nemuin Shania tapi Kak Ve ngelarang. Katanya badan aku juga butuh istirahat, jadi mending esok hari aja nemuin Shanianya. Mau tak mau tapi harus mau, aku nurut sama Kak Ve. Kan dia juga yang udah bawa aku kesini, belum lagi Kak Ve pasti merasa bertanggung jawab atas adanya aku disini sama Papa Mama aku. Masa cuma nurutin ucapannya yang juga memikirkan kebaikan aku, terus aku menolaknya.
Melangkah meninggalkan tempatnya Kak Kinal yang ada di lantai 8, hatiku merasa senang gak karuan lagi. Gimana gak ngerasain itu, secara aku mau nemuin sahabat lamu yang aku tinggalin. Setelah sekian lama akhirnya ada juga waktu kedua untuk aku bisa lagi ketemu sama dia. Apa yang mau dikatakan ke Shania nanti, itu gimana nanti aja deh. Yang penting ketemu dulu.
Supir taksi yang tadi aku panggil dan aku arahkan ketempat ini, sampai juga setelah kurang lebih hitungan jam lah bisa sampai disini.
Berdiri ditempat ini udah kayak lagi main dimasa lalu. Ada beberapa perubahan terlihat dibeberapa titik di komplek ini. Komplek tempat dulu aku nyamperin Shania dan mengajaknya berangkat sekolah atau main. Tiba-tiba saja ada rasa haru senang ketika kedua mataku yang sebelumnya kuajak menjamah lagi setiap sudut komplek yang terakhir kulihat saat langitnya berwarna beige dimalam hari. Sosok itu.. gadis yang keluar dari rumahnya itu.. yang pakai dress warna salem itu.. itu.. itu.. Shania. Iya. Itu Shania. Aku lihat dia lagi. Dan ini bukan mimpi. Ini juga bukan cerita. Ini nyata.aku melihat dia keluar dari rumahnya setelah waktu itu aku melihat dia masuk kedalam rumahnya.
'Shania..' bisikku pelan. 'Aku rindu sama kamu!'
Hanya itu yang aku lakukan saat dengan jelas dari sebrang sini aku melihat Shania. Melihat dia baru saja keluar setelah menutup pagar rumahnya yang sudah berubah warna. Inginnya berteriak kayak yang kemarin Kak Kinal lakukan ke Kak Ve, tapi gak tahu kenapa? Suaraku kayak ada yang nahan. Aku hanya diam berdiri melihat saja, hanya diam! Sss.. ada apa sama suaraku? Kenapa aku gak bisa neriakin nama dia? Manggil dia?!
Bisa ku lihat, Shania mulai jalan meninggalkan rumahnya. Daripada hanya berdiri mematung kayak orang bego, gak bisa bersuara kayak orang bisu. Aku ikuti saja langkahnya dari sini. Shania jalan didepanku, diseberang sana. Dan aku.. berjalan membuntutinya dari belakang, dari sebrang sini. Aku gak tahu pasti apa yang saat ini aku rasakan. Aku melihat dengan sangat jelas Shania tapi aku kayak gak punya upaya untuk mendekati dia. Kayaknya apa yang udah aku lakuin, udah benar-benar bikin aku mati sekarang.
'Shania.. menengoklah. Lihatlah, ada aku dibelakang kamu!'
Untuk apa juga aku harapkan hal itu? Kenapa gak aku aja yang samperin dia. Dasar dong-dong!
Aku tidak tahu kemana Shania akan pergi, tapi aku masih mengikutinya. Hingga dia berhenti di satu tempat, dan saat aku sadari tempat itu.. perasanku mendesir henyak. Rasanya nostalgia banget. Ini taman. Taman yang dulu biasa kita datangi.
'Shania masih suka ketempat ini?'
'Apa sudah ada seseorang yang duduk disebelahnya, sekarang?'
Mataku terharu. Tanpa aku mau, air mata itu keluar sendiri. Memperlihatkan bahwa aku sedang merasakan haru bahagia karena ternyata Shania masih suka ketempat favorit kita dulu.
Dia duduk ditempatnya. Aku bisa lihat dia menghela nafas dalam setelah badannya menyatu dengan bangku warna putih yang telah terlihat usang. Apa mungkin saat ini dia juga sedang melamunkan aku dalam diam duduk sendirinya?
Tidak mau lagi hanya melihat. Aku persiapkan diri untuk jalan kearahnya dan menghampiri dia.
Namun, baru dilangkah keempat dan masih jauh ketempatnya Shania. Aku melihat ada seseorang yang datang tiba-tiba dari arah.. arah yang dulu biasa aku muncul. Dia berlari kecil dan saat sampai didepan Shania, dia membungkuk pakai tangan kirinya, karena tangan satunya lagi pegang gitar. Sepertinya seseorang itu sedang mengumpulkan oksigen. Dia lalu berdiri dan tersenyum pada Shania. Terus entah apa yang dia ucapkan dari mulutnya, dari bibirnya yang juga ikut tersenyum ditengah ucapannya pada Shania.
Kayak lihat diriku sendiri dimasa lalu. Dan reaksi Shania... sama persis kayak waktu sama aku.
Apa orang itu.. dia pengganti aku? Apa gadis yang memiliki rambut panjang itu, yang kini mengisi tempat disebelahnya Shania, menempati tempat dudukku dulu? Dia siapa Shania?
Shania terlihat akrab dengan gadis itu. Mereka duduk sebelahan, ngobrol-ngobrol, malah terlihat asik terus senyum-senyum tawa begitu sangat akrab. Sepertinya gadis itu sudah lama kenal dengan Shania. terus gadis itu mainin gitarnya dan Shania... dia menyandarkan kepalanya dibahu itu.
Salahku dulu yang sudah seenaknya meninggalkan kamu Shania. Kamu terlihat senang bahkan bahagia sama teman baru kamu.
And if you don't want me then
I guess I'll have to go (I guess I'll have to go)
Not loving you is harder than you know
So I'll make the call, And I'll leave today
I'm gonna miss you cause I love you baby
And I'll make the call, And I'll leave today,
And leaving always drives me crazy..
Leaving always drives me crazy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar